Semenjak merebaknya Virus Corona di dunia, berbagai upaya dilakukan untuk memutus mata rantai penularan, di Indonesia sendiri awalnya hanya dilakukan himbauan untuk belajar di rumah, bekerja dari rumah dan beribadah di rumah yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya pada tanggal 15 Maret 2020, himbauan inipun baru disampaikan setelah hampir 2 minggu semenjak kasus pertama diumumkan yaitu tanggal 2 Maret 2020 dan hal ini diputuskan setelah melihat kasus tidak terkendali, terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian. Situasi ini sebenarnya mengesankan lambatnya upaya penanganan COVID 19 di Indonesia.
Berbagai negara di dunia banyak yang mengambil tindakan ekstrim untuk penanganan COVID 19 dengan melakukan lockdown (pembatasan pergerakan manusia secara ekstrim) dan hal ini menunjukkan hasil yang menggembirakan yaitu kasuspun terkendali, bahkan negara-negara ini sekarang sudah mulai beraktivitas kembali secara normal dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Beberapa negara lain yang tidak memilih untuk lockdown mereka melakukan penelusuran kasus secara aktif dengan melakukan rapid tes massal, sehingga yang menunjukkan hasil reaktif segera bisa dikarantina, dan penularanpun terputus di satu orang. Kebijakan inipun membuahkan hasil.
Lalu bagaimana dengan Indonesia??? Indonesia cukup gamang saat pengambilan kebijakan, mulai dari meributkan penggunaan istilah, sampai ketakutan-ketakutan akan rubuhnya ekonomi, ketidaksanggupan negara untuk menjamin kesejahteraan masyarakat jika dilakukan karantina dan berbagai hal lainnya, yang pada akhirnya membuang waktu sia-sia yang mengakibatkan kasus semakin meningkat dan tingginya angka kematian, yang jika dihitung beban ekonominya pun sangat tinggi. Keputusan baru di ambil pada tanggal 31 Maret 2020 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Setelah hampir 3 bulan PSBB di terapkan. ditengah kasus COVID-19 yang masih berlum terkendali, tiba-tiba muncul himbauan dari istana negara kalau masyarakat di Indonesia harus mulai berdamai dengan Corona, karena jika PSBB terus dilanjutkan dianggap akan melumpuhkan ekonomi di Indonesia. Himbauan ini kemudian diikuti dengan pelonggaran PSBB dimana mulai dibukanya usaha, kantor-kantor kembali di perintahkan untuk beroperasi, mall mulai di buka dan restoran-restoran kembali melayani dine in.
Himbauan berdamai dengan Corona memunculkan isu sipang-siur dimana sepertinya di Indonesia akan diterapkan konsep herd Immunity. Hal ini tercetus dari melihat gelagat yang ditunjukkan pemerintah dalam penaganan COVID 19 ini. Isu penerapan herd immunity ini kemudian dibantah oleh Juru Bicara Penanganan COVID 19 yaitu Bapak Achmad Yurianto.
Sebenarnya apa itu Herd Immunity?? dan apa hubungannya dengan seleksi alam???
Herd Immunity atau bisa diartikan dengan kekebalan gembala adalah kondisi dimana 80% populasi kebal terhadap suatu penyakit, sehingga bisa melindungi populasi rentan agar tidak terinfeksi. Terbentuknya kekebalan ini bisa melalui 2 cara yaitu dengan vaksinasi atau kekebalan buatan dan kekebalan alamiah yang bisa didapat setelah seseorang terinfeksi suatu penyakit.
Melihat situasi pandemi saat ini, dimana vaksin belum ditemukan dan masih banyaknya informasi yang simpang siur tentang penyakit ini. Apakah yakin penyakit ini akan menimbulkan kekebalan kepada orang yang terinfeksi?? Berapa persen orang yang akan selamat jika terinfeksi??? semua jawabannya sangat tergantung. Tergantung kepada kondisi tubuh seseorang, tergantung bagaimana pelayanan kesehatan yang ada dan tergantung pada cepat atau lambatnya penanganan. Lalu apakah bijak melonggarkan PSBB saat kasus masih belum terkendali??? bukannya syarat yang ditetapkan WHO boleh melonggarkan pembatasan jika kasus sudah terkendali !!
Sebenarnya ini seperti makan buah simalakama kedua pilihan kebijakan memang memiliki dampak positif dan negatif. Jikapun kebijakan new normal atau pelonggaran PSBB dilakukan maka harus diiringi dengan :
- Pengaturan mekanisme berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi pandemi,
- Dipenuhinya sarana prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan dimasa new normal,
- Tersedia sumber daya manusia yang bertugas melakukan pengawasan agar new normal berjalan sesuai dengan protokol kesehatan,
- Promosi, edukasi dan informasi kesehatan harus dilancarkan dengan gencar dan massif, sehingga masyarakat paham dan siap untuk new normal
Keempat hal diatas menjadi sesuatu yang wajib dipenuhi dan dilakukan, bukan hanya dengan himbauan menggunakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan pakai sabun (CTPS) saja. Menjadi tidak efektif dan tidak adil rasanya ketika masyarakat sudah mulai mengubah perilakunya menerapkan pola hidup sehat tetapi tidak diikuti dengan pengaturan sistem yang berjalan dengan jelas dan tepat, kurangnya sarana prasarana yang mendukung, dan tidak adanya pengawasan!!
Jika new normal diterapkan tanpa didukung dengan strategi dan mekanisme pelaksanaan yang tepat, maka kasus baru tetap akan bermunculan bahkan mungkin akan terjadi reinfeksi. Ancaman munculnya wabah gelombang ke 2 semakin besar, dan jika hal ini terjadi mampukan Indonesia menanganinya???, cukupkah tenaga dan fasilitas kesehatan dalam melakukan perawatan??? jika tidak maka akan terjadi seleksi alam, yang kuat akan bertahan yang lemah akan kalah.
Istilah seleksi alam ini muncul dari Teori Evolusi Charles Darwin yang menyatakan bahwa mahluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya lama-kelamaan akan punah. Teori ini sama dengan hukum rimba yang terjadi pada binatang. Tentunya hal ini tidak bisa disamakan dengan kita, manusia memiliki akal dan pikiran untuk beradaptasi dan berstrategi untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul. Oleh sebab itu marilah bersama-sama melakukan yang terbaik, saling menjaga, saling bahu membahu dan mohon bagi pengambil kebijakan putuskanlah kebijakan yang terbaik demi kesejahteraan umat manusia di Indonesia dengan mempertimbangkan semua aspek, dan yang terpenting tentunya kesehatan dan keselamatan umat manusia di Indonesia.
#SalamSehat
#StayatHome
#LawanCovid19
Post a Comment
Post a Comment